Oleh: Andri Satrio Pratomo
Alumnus Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
Oleh: Antariksa
Staf Pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
Oleh: Septiana Hariyani
Staf Pengajar Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi karakteristik Kawasan Kampung Batik Laweyan yang terdiri dari karakteristik fisik (meliputi pola penggunaan lahan dan kondisi bangunan) dan karakteristik non fisik (meliputi aspek sosial budaya ekonomi masyarakat kawasan Kampung Laweyan), serta menentukan bangunan kuno yang potensial dilestarikan berdasarkan makna kultural. Metode dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, digunakan untuk mengetahui karakteristik kawasan Kampung Batik Laweyan yang terdiri dari karakteristik fisik (meliputi pola penggunaan lahan dan kondisi bangunan) dan karakteristik non fisik (meliputi aspek sosial budaya ekonomi masyarakat kawasan Kampung Laweyan); analisis pembobotan dengan metode skoring untuk menentukan bangunan kuno yang potensial dilestarikan berdasarkan delapan kriteria makna kultural (estetika, kejamakan, kelangkaan, keluarbiasaan, peranan sejarah, keaslian bangunan, keterawatan, dan memperkuat citra kawasan) di kawasan Kampung Batik Laweyan. Peruntukan lahan kawasan Kampung Laweyan saat ini didominasi oleh fungsi permukiman, komersial dan kegiatan industri batik adalah tergolong peruntukan campuran atau mix use. Bangunan kuno yang potensial dilestarikan dengan nilai makna kultural di atas atau sama dengan 14,45 adalah sebanyak 35 bangunan yang tersebar pada kawasan Kampung Laweyan. Berdasarkan penilaian kriteria-kriteria makna kultural yang telah dilakukan dengan metode pembobotan, maka dapat diketahui bahwa dari 80 bangunan yang diteliti terdapat 19 bangunan yang memiliki tingkat potensial tinggi untuk dilestarikan (preservasi), 16 bangunan yang memiliki tingkat potensial sedang (konservasi), dan 45 bangunan yang memiliki tingkat kurang potensial untuk dilestarikan (rehabilitasi/restorasi).
ABSTRACT
The aim of this study is to identify the characteristic of Kampung Batik Laweyan which consist from physical characteristic (land use pattern and building condition), and non physical characteristic (social, culture, economic aspect community area of Kampung Laweyan), along with determine the ancient building which potential to be conserve based on cultural meaning. The method of this study is descriptive used for identify characteristic area of Kampung Batik Laweyan which consist of physical characteristic and non physical characteristic; and analysis quality with scoring method to determine ancient building which potential to be conserve based on eight criteria of cultural meaning (aesthetics, plurality, peculiarity, historical role, building authenticity, treatment, strengthen an image area) in the area of Kampung Batik Laweyan. The allotment of land area of Kampung Laweyan dominated by function of settlement, commercial and batik industrial activity is classified the allotment of mix use. Ancient building which potential preserved with cultural meaning value or the same with 14.45 is amounting to 35 buildings spread in the area of Kampung Batik Laweyan. Based on criteria value of cultural meaning which already carry out with ranking method, then can be found out that of 80 buildings which examine exist 19 buildings have high potential level to preserved, 16 buildings have medium potential level to conserved, and 45 buildings have less potential level to rehabilitate or restoration.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Laweyan merupakan suatu kawasan sentra industri batik yang unik, spesifik dan bersejarah. Dilihat dari segi sejarah menurut Mlayadipuro (1984), keberadaan Kampung Laweyan Surakarta sudah ada sejak sebelum tahun 1500M. Pada masa itu Kampung Laweyan dengan Pasar Laweyan dan Bandar Kabanarannya merupakan pusat perdagangan dan penjualan bahan sandang (lawe) Kerajaan Pajang yang ramai dan strategis (Priyatmono, 2004).
Ditinjau dari segi arsitektur rumah tinggal, Kampung Laweyan memiliki corak yang unik, spesifik, dan bersejarah disebabkan hampir sebagian besar rumah tinggal saudagar batiknya bercirikan arsitektur tradisional khas Laweyan. Atap bangunannya, kebanyakan menggunakan atap limasan bukan joglo. Dalam perkembangannya sebagai salah satu usaha untuk lebih mempertegas eksistensinya sebagai kawasan yang spesifik corak bangunan di Laweyan banyak dipengaruhi oleh gaya arsitektur Eropa dan Islam, sehingga banyak bermunculan bangunan bergaya arsitektur Indis (Jawa-Eropa) dan model ”gedong” (Priyatmono, 2004).
Semasa Kerajaan Pajang tahun 1546, Laweyan terkenal sebagai daerah penghasil tenun. Batik di Laweyan baru dikenal semasa Kerajaan Kasunanan Surakarta dan mengalami masa kejayaan di tahun 1960-an. Batik yang diproduksi di Laweyan adalah batik tulis (tradisional) dengan corak spesifik berbeda dengan batik yang dikembangkan di dalam tembok kraton. Kurang adanya proses regenerasi, sistem manajemen yang kurang bagus serta munculnya produk ”batik” printing di tahun 80-an menyebabkan industri batik di Laweyan mengalami gulung tikar hingga sekarang tinggal 15% dari jumlah industri yang pernah ada (Republika, 17 Juni 2003). Dalam perkembangannya perubahan fungsi kawasan yang semula didominasi oleh pengrajin batik menjadi non batik berpengaruh terhadap perubahan morfologi kawasan dan permukimannya (Priyatmono, 2004).
Dilihat dari sosial budaya masyarakatnya, Laweyan memiliki ciri yang khas. Menurut Priyatmono (2004), di Laweyan terdapat beberapa kelompok sosial dalam kehidupan masyarakatnya. Kelompok tersebut terdiri dari juragan (pedagang), wong cilik (orang kebanyakan), wong mutihan (Islam atau alim ulama) dan priyayi (bangsawan atau pejabat). Selain itu, dikenal pula golongan saudagar atau juragan batik dengan pihak wanita sebagai pemegang peranan penting dalam menjalankan roda perdagangan batik yang biasa disebut istilah mbok mase.
Terdapat enam situs bangunan kuno (benda cagar budaya) di kawasan Kampung Batik Laweyan yang termasuk dalam cagar budaya, sebagaimana yang tercantum dalam SK Walikota Surakarta Nomor 646/116/1/1997 tentang Penetapan Bangunan-bangunan Dan Kawasan Kuno Bersejarah di Kota Surakarta yang dilindungi UU No. 5 T ahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya. Situs dan bangunan cagar budaya yang dilindungi dapat dilihat pada tabel 1.
Seiring dengan meningkatnya intensitas kegiatan komersial seperti perdagangan dan perkantoran, maka Kampung Batik Laweyan semakin lama terdesak oleh bangunan-bangunan baru yang lebih memiliki nilai ekonomis, namun miskin identitas, bangunan tersebut di bangun tanpa mempertimbangkan karakter bangunan di sekitarnya, sehingga tampak asing dan tidak estetis.
Tabel 1. Situs dan Benda Cagar Budaya di Kawasan Kampung Batik Laweyan
Sumber: SK Walikota Surakarta Nomor 646/116/1/1997
Kondisi yang tampak di kawasan Kampung Batik Laweyan adalah lebih banyak bangunan kuno dan bersejarah yang terancam hancur perlahan lahan. Satu per satu bangunan kuno dengan keindahan arsitekturnya, mulai rusak, dan sebagian lain berubah fungsi menjadi ruko atau bangunan baru yang arsitekturnya berbeda dengan karakteristik kawasan secara umum. Banyak di antara bangunan-bangunan tua tersebut yang dibiarkan dalam keadaan rusak dan
tidak terpelihara. Bahkan bekas rumah Ketua SDI (Serikat Dagang Islam) H Samanhoedi -salah satu pahlawan nasional- tampak sudah tak utuh lagi, bagian depannya digempur habis.
Selain itu, adanya perubahan pemilikan tanah menyebabkan tanah beralih ke tangan pedagang non pribumi dan beberapa birokrat besar, yang profesinya tidak ada sangkut pautnya dengan proses pembuatan batik mengakibatkan terjadinya perubahan dan alih fungsi bangunan.
Penelitian yang pernah dilakukan di kawasan Kampung Batik Laweyan menyebutkan bahwa perubahan fungsi permukiman dari industri batik menjadi non batik banyak terjadi di tepi jalan, yaitu tepi jalan raya DR. Rajiman (jalan kota) dan jalan utama kawasan seperti Jalan Sidoluhur, Jalan Tiga Negri serta Jalan Nitik, sedangkan yang sedikit mengalami perubahan adalah di area kawasan bagian tengah. Dilihat dari aspek pertumbuhan bangunan, maka pertumbuhan bangunan baru banyak terjadi pada permukiman di tepi jalan raya DR. Rajiman (jalan kota) dan jalan utama Sidoluhur (Priyatmono, 2004). Kondisi ini jika dibiarkan terus-menerus dikhawatirkan identitas Laweyan akan hilang, yang berarti juga hilangnya salah satu identitas Kota Surakarta (lihat lampiran gambar 1 dan 2 pada lampiran).
Perumusan masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dijawab pada studi ini, yaitu sebagai berikut:
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka Pelestarian Kawasan Kampung Batik Laweyan Kota Surakarta mempunyai tujuan sebagai berikut:
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan untuk kepentingan penelitian ini adalah metode deskriptif untuk mengetahui karakteristik kawasan Kampung Batik Laweyan yang terdiri dari karakteristik fisik (meliputi pola penggunaan lahan dan kondisi bangunan) dan karakteristik non fisik (meliputi aspek sosial budaya ekonomi masyarakat kawasan Kampung Laweyan); analisis pembobotan dengan metode skoring untuk menentukan bangunan kuno yang potensial dilestarikan berdasarkan delapan kriteria makna kultural (estetika, kejamakan, kelangkaan, keluarbiasaan, peranan sejarah, keaslian bangunan, keterawatan, dan memperkuat citra kawasan); serta analisis development untuk menentukan arahan pelestarian fisik dan non fisik (yang meliputi aspek hukum, ekonomi, dan sosial) di kawasan Kampung Laweyan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
TGL Kawasan Kampung Laweyan
Peruntukan lahan kawasan Kampung Laweyan saat ini didominasi oleh fungsi permukiman, komersial dan kegiatan industri batik yang tergolong peruntukan campuran atau mix use. Penggunaan lahan berupa permukiman dan kegiatan industri batik terutama terdapat di dalam kampung sedangkan untuk penggunaan perdagangan/komersial mendominasi di ruas Jalan DR. Rajiman. Kondisi tersebut sesuai dengan peruntukan yang ditetapkan pada kawasan ini, yaitu sebagai kawasan industri rumahan (home industry) batik. Selain peruntukan yang dominan sebagai permukiman dan kegiatan industri batik, juga terdapat beberapa bangunan yang berfungsi untuk usaha walet, gudang, dan juga bangunan kosong yang sudah ditinggalkan pemiliknya (gambar 1).
Gambar 1. Rumah yang kosong dan ditinggalkan oleh pemilik.
Kondisi Bangunan di Kawasan Kampung Laweyan
Pada bagian ini akan dibahas tentang karakteristik bangunan kuno di kawasan Kampung Laweyan yang meliputi usia bangunan, fungsi bangunan, status bangunan, dan kondisi fisik bangunan.
a. Usia bangunan
Usia bangunan di kawasan Kampung Batik Laweyan bervariasi, yaitu antara usia 1525 yang tertua sebanyak 1,25% dan 1955 yang termuda sebanyak 5%. Mayoritas bangunan di kawasan Kampung Laweyan memiliki usia antara 50–100 tahun (60%), kondisi ini menunjukkan bahwa bangunan di kawasan Kampung Laweyan termasuk dalam lingkup objek pelestarian (gambar 2).
Gambar 2. Usia bangunan di kawasan Kampung Laweyan
b. Fungsi bangunan
Fungsi bangunan saat ini yang paling dominan adalah bangunan dengan fungsi rumah tinggal, yaitu sebanyak 58%, sedangkan sebagai fungsi rumah tinggal dan usaha batik sebesar 26%, rumah tinggal dan usaha non batik 14%, dan fungsi bangunan terkecil sebagai rumah tinggal sekaligus langgar sebesar 1,25% dan gudang sebesar 1,25% (gambar 3 dan 4).
Gambar 3. Fungsi bangunan di kawasan Kampung Laweyan
Gambar 4. Fungsi bangunan di kawasan Kampung Laweyan, berturut-turut (searah jarum jam) rumah tinggal, rumah tinggal dan usaha batik, rumah tinggal dan usaha non batik, dan gudang.
c. Status kepemilikan bangunan
Sebagian besar status bangunan merupakan hak milik pribadi (94%). Hal ini disebabkan karena pada umumnya masyarakat memperoleh bangunannya melalui warisan orang tua, sehingga kondisi ini menyebabkan kendala bagi Pemerintah dalam upaya pelestarian bangunan mengingat wewenang yang dimiliki Pemerintah masih lemah. Selain hak milik pribadi status bangunan di Laweyan beragam antara lain sewa (4%), wakaf (1%), dan merupakan bangunan milik pemerintah sebesar 1% (gambar 5).
Gambar 5. Status bangunan di kawasan Kampung
Laweyan
d. Kondisi fisik bangunan
! Berdasarkan hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa rata-rata KDB di Laweyan adalah sebesar 100% yang berarti bahwa sebagian besar bangunan menggunakan kapling tanah secara maksimal. Berdasarkan Koefisien Lantai Bangunannya (KLB) diketahui bahwa sebagian besar bangunan memiliki rata-rata KLB 100%. Jarak GSB di Kawasan Laweyan rata-rata adalah 0 meter. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar bangunan di Laweyan tidak memiliki sempadan muka bangunan; ! Tampak bangunan yang terletak di kawasan Kampung Laweyan bervariasi, yaitu dari polos (46%), teras (31%) dan lankan (23%);
! Dasar geometris bangunan yang teridentifikasi di kawasan Kampung Laweyan terdiri dari segitiga (94%) dan persegi (6%);
Gambar 6. Langit-langit lama dengan lubang ventilasi di kawasan Kampung Laweyan.
Gambar 7. Bentuk panil pintu dan jendela di kawasan Kampung Laweyan.
Gambar 8. Lantai berornamen di kawasan Kampung Laweyan.
Gambar 9. Gaya bangunan di kawasan Kampung Laweyan, berturut-turut (searah jarum jam) kolonial, Jawa, campuran, dan berubah total.
Karakteristik non fisik kawasan Kampung Laweyan.
Ciri sosial yang berbeda adalah kedudukan lapangan pekerjaan yang kelihatan ”terasing” dalam masyarakat Surakarta dan terjadi pemisahan antara ikatan kerja yang bersifat ekonomis dan non ekonomis. Mereka menyatu dalam sistem sosial yang didasarkan orientasi wiraswasta. Oleh sebab itu, Kampung Laweyan lebih menunjukkan kehidupan dalam ciri-ciri ”kampung dagang”. Puncak struktur sosial dalam masyarakat Laweyan disebut keluarga majikan sedangkan status di bawahnya adalah kelompok tenaga kerja di perusahaan batik (gambar 10).
Gambar 10. Kegiatan batik di kawasan Kampung Laweyan.
Bangunan kuno yang potensial dilestarikan
Penentuan bangunan kuno yang potensial dilestarikan bertujuan untuk mendapatkan bangunan
yang memiliki nilai makna kultural di atas rata-rata. Sebelum mendapatkan bangunan kuno yang potensial dilestarikan maka akan dilalui beberapa tahap, antara lain:
Berdasarkan pembahasan maka diperoleh bangunan potensial dilestarikan, yaitu sebagai berikut (tabel 2).
Arahan Pelestarian Bangunan
Penentuan arahan pelestarian untuk bangunan yang potensial dilakukan dengan mengklasifikasikan bangunan potensial menjadi dua, yaitu potensial tinggi dan potensial rendah. Bangunan kuno potensial tinggi adalah bangunan yang yang memiliki nilai makna kultural di atas rata-rata golongan bangunan kuno yang potensial dilestarikan (16,8), sehingga tingkat perubahan yang timbul dari adanya teknik pelestarian sangat kecil atau tidak ada. Bangunan potensial rendah akan dilakukan teknik konservasi dimana tingkat perubahannya masih tergolong kecil. Adapun bangunan yang kurang potensial dilakukan arahan rehabilitasi/restorasi dengan tingkat perubahan yang ditimbulkan tergolong tingkat perubahan sedang (tabel 3).
Tabel 2. Klasifikasi Bangunan Kuno Potensial dan Kurang Potensial Dilestarikan di Kawasan Kampung Batik Laweyan
Sumber: Hasil Analisis Tahun 2006.
Tabel 3. Klasifikasi dan Arahan Pelestarian Bangunan Kuno di Kawasan Kampung Batik Laweyan.
Sumber: Hasil Analisis Tahun 2006
KESIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Tabel 4. Penilaian Kriteria Makna Kultural Bangunan Kuno di Kawasan Kampung Laweyan
Sumber: Hasil Analisis Tahun 2006
Keterangan:
KW = Kwangan
ST = Setono
KL = Klaseman
LP = Lor Pasar
KR = Kramat
SW = Sayangan Wetan
SK = Sayangan Kulon
KP = Kidul Pasar
Gambar 11. Kota Surakarta.
Gambar 12. Kawasan Kampung Batik Laweyan
Pelestarian Kawasan Kampung Batik Laweyan Kota Surakarta
Stokis HPAI Jogja, Tuesday, May 29, 2007
Labels:
Settlement
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Comments :
Post a Comment