Jembatan Gantung

Seperti layaknya jembatan, Jembatan (gantung) Kota Intan juga berfungsi sebagai sarana penyeberangan. Berlokasi dekat Hotel Batavia, jembatan tua peninggalan Belanda yang dibangun tahun 1628 itu menghubungkan sisi timur dan barat Kota Intan di Jalan Kali Besar Barat, Jakarta Utara. Namun, jembatan yang hampir semuanya terbuat dari kayu itu makin lama makin lapuk dan kini tidak lagi difungsikan alias ditutup.

“Kalau terus dipakai, nanti runtuh dan jembatan bersejarah itu tidak ada lagi,” kata Sugianto (85), penjaga jembatan yang mengaku bekerja sejak tahun 1949.

Jembatan Kota Intan dilengkapi dengan semacam pengungkit untuk menaikkan sisi bawah jembatan. Penjaga dengan sigap akan menarik tali pengungkit jika ada kapal yang akan melewati jembatan menuju Kota. “Sejak tidak ada lagi kapal lewat sini, jungkit tidak lagi berfungsi. Saat ini sudah aus,” kata Sugianto.

Merujuk sejarah, jembatan di kawasan Kota Intan ini pernah lima kali kali berganti nama.

Seusai dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda, jembatan dinamai Jembatan Inggris. Alasan penamaan itu, menurut pemandu dari Museum Sejarah Asep Kambali, karena tidak jauh dari lokasi itu yaitu di dekat Kafe Galangan, dahulu dibangun benteng pertahanan milik Inggris. Nama itu lalu diubah menjadi Jembatan Pusat, disinyalir karena pengelolaannya dipegang pemerintah pusat Hindia Belanda.

“Karena di sisi jembatan pada tahun 1900-an ramai sekali dan dijadikan pasar ayam, nama jembatan berganti lagi menjadi Jembatan Pasar Ayam,” kata Asep.

Pada tahun 1938 di masa pemerintahan Ratu Juliana, jembatan direnovasi dan namanya diubah menjadi Jembatan Ratu Juliana (Ophaalsburg Juliana).

Nama akhirnya berubah menjadi Jembatan Kota Intan karena di kawasan tersebut terdapat kastil Batavia bernama “Diamond".

Jembatan di Atas Kanal

SIAUW A Hok, penduduk yang bertempat tinggal di Pancoran, malam-malam ingin mencari angin. Ia keluar rumah dan duduk di lengan (tempat pegangan tangan) di salah satu jembatan di Pancoran. Malang tidak dapat ditolak, ternyata kayu jembatan yang didudukinya itu patah. Siauw A Hok pun jatuh ke kali, dan kepalanya membentur perahu yang kebetulan sedang lewat di bawah jembatan itu. Ketika tukang perahu menolongnya, kepala Siauw A Hok berlumuran darah. Para tetangganya segera membawanya ke Stadsverband (rumah sakit untuk pribumi dan Cina) di Glodok, tetapi di tengah perjalanan ia meninggal.

Djembatan Berak Schijtbrug te Batavia 1872
Di kawasan kota lama Betawi memang banyak terdapat jembatan. Untuk menyebut beberapa, misalnya, Jembatan Senti di seberang gereja Portugis (sekarang gereja Sion di Jalan Pangeran Jayakarta), Jembatan Pasar Ayam (Hoenderpasarbrug) di sebelah utara Stadhuis (Museum Sejarah Jakarta), dan Jembatan Javasche Bank (kini gedung Bank Indonesia). Jembatan-jembatan itu kebanyakan berbahan kayu dan telah berumur puluhan tahun, bahkan ada yang lebih satu abad. Tidak aneh kalau kayunya banyak yang lapuk dan membahayakan penduduk.

Mengapa begitu banyak jembatan di kawasan kota lama? Jan Pieterszoon Coen peletak dasar kolonialisme kumpeni, ketika bermaksud membangun kota sebagai pusat kekuasaan kumpeni, minta dibuatkan rancangan seperti kota-kota di negeri leluhurnya. Karena itu kota yang dikelilingi tembok itu penuh dengan kanal-kanal, yang memiliki fungsi untuk keamanan, selain juga sebagai sarana angkutan air. Sementara jalan-jalan dibuat di sekitar kanal-kanal itu yang saling berpotongan tegak lurus.

Kali Besar Tahun 1876 Agar orang dapat menyeberangi kanal-kanal itu di beberapa tempat tertentu dibuat jembatan dari bahan kayu. Untuk kanal-kanal yang cukup lebar, kadang-kadang dipakai konstruksi batu. Jembatan itu merupakan jembatan angkat (ophaalbrug), dan dibuat tinggi di atas pemukaan air, sehingga perjalanan perahu-perahu yang banyak hilir-mudik di kanal-kanal itu tidak terganggu.

Jembatan angkat yang terkenal dan merupakan satu-satunya yang masih kelihatan bentuknya adalah yang dikenal dengan nama Hoenderpasarbrug (Jembatan Pasar Ayam), yang terletak di ujung utara Kali Besar, di dekat Hotel Omni Batavia di Jalan Kali Besar Barat.

Sesuai namanya, jembatan itu yang menempati lokasi yang menurut peta masa Gubernur Jenderal Van der Parra, merupakan pasar ayam dan sayuran, yaitu yang terletak di sebelah utara gereja lama Portugis (Binnenkerk). Lahan bekas pasar ayam itu kemudian dijadikan lokasi tempat perbaikan kapal. Karena Boom Besar dalam jangka panjang juga akan dibangun, maka pembesar kumpeni merencanakan lokasi untuk gudang-gudang di tepi Kali Besar itu. Karena itulah dibangun jembatan angkat, sehingga perahu-perahu yang mengangkut berbagai kebutuhan sehari-hari tetap bisa melewati Kali Besar.

Selain Jembatan Pasar Ayam, di ujung selatan Kali Besar juga terdapat sebuah jembatan, untuk kebutuhan orang-orang yang bermaksud ke rumah sakit (hospitaalsbrug). Setelah rumah sakit dipindahkan ke Weltevreden, lahan bekas rumah sakit itu dimanfaatkan oleh Javasche Bank, sehingga jembatan itu dikenal sebagai Jembatan Javasche Bank. Jembatan Pasar Ayam maupun Jembatan Javasche Bank itu bukan nn4jembatan yang paling tua di Betawi. Yang tertua adalah Jembatan Inggris, yang ketika tentara Mataram menyerang Betawi pada tahun 1628, jembatan itu harus dihancurkan. Baru pada tahun 1655 dibangun jembatan baru melintasi terusan kanal yang bernama Amsterdamsche-gracht. Itulah jembatan yang disebut Hoenderpasarbrug.

Jembatan itu bukan satu-satunya sarana untuk menyeberangi kanal. Ketika para pembesar kumpeni masih tinggal di dalam kastil, selain jembatan untuk penyeberangan itu, di tempat-tempat yang cukup jauh dari jembatan ditempatkan beberapa buah sampan memakai tenda. Sampan-sampan itu dipakai untuk mengangkut ’nyonya-nyonya besar’ yang biasanya malas berjalan itu ke seberang kanal. ’Nyonya-nyonya besar’ itu jelas sulit berjalan, karena gaun-gaun yang mereka kenakan model kurungan ayam. Setiap mereka berjalan, harus ada budak-1946pasarikanbudak yang memegangi gaun itu. Repotnya lagi, selain budak pemegang gaun, ada pula budak yang khusus memayungi sang nyonya besar, karena matahari Betawi sangat terik. Si nyonya besar sendiri tidak henti-hentinya mengipas-ngipaskan kipas bulu burung merak.

Sumber: Kompas, Selasa, 28 Oktober 2003 dan Senin, 11 Oktober 2004, photo-photo koleksi pribadi.

Comments :

0 comments to “Jembatan Gantung”

Post a Comment

 

ArchaeologyWorld

Recent Comments