(Studi Kasus Komplek Bangunan Militer di Jawa pada Peralihan Abad 19 ke 20)
Samuel Hartono dan Handinoto
Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Jurusan Arsitektur, Universitas Kristen Petra
ABSTRAK
Arsitektur transisi biasanya berlangsung sangat singkat, sehingga sering terlupakan dalam catatan sejarah (arsitektur). Meskipun demikian bentuk arsitektur transisi yang berlangsung cukup singkat tersebut sangat menarik untuk dipelajari, karena arsitektur transisi pada hakekatnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sejarah perkembangan arsitektur
secara keseluruhan. Bentuk arsitektur transisi yang dibahas kali ini adalah bentuk arsitektur di Hindia Belanda dari akhir abad 19 sampai awal abad ke 20. Dan yang menjadi obyek studi adalah arsitektur pada komplek militer Belanda di Jawa. Bentuk arsitektur ini sering lepas dari perhatian kita. Hal ini disebabkan karena dua hal. Yang pertama adalah minimnya dokumentasi waktu itu. Yang kedua dikarenakan waktunya sangat singkat sekali (antara 20 sampai 30 th).
ABSTRACT
Transition Architecture usually takes place in a short time; that’s why, it is often forgotten in architectural historical record. However, this brief transition architecture is very interesting to study, because it is essentially an integral part of the whole history of architectural development. This transition architectural form discussed in this paper is that of the Netherlands East Indies era, from the end of the 19th century to the beginning of the 20th century. The object of this study is the architecture of the Dutch military complex, which often slips from our attention. This matter may be caused by two things: first, the limited documentation at that time, and second, the brief period of this transition (only lasted in 20 to 30 years).
PENDAHULUAN
Perubahan bentuk dan gaya dalam dunia arsitektur, sering didahului dengan perubahan sosial
yang terjadi dalam masyarakatnya [1]. Sigfried Gideon (1971:4) bahkan pernah mengatakan bahwa:
“In each period of transition, religion and social changes are behind the changes in architectural forms, as well as new inventions and the development of new techniques”
Peralihan dari abad 19 ke abad 20 di Hindia Belanda [2] dipenuhi oleh banyak perubahan dalam masyarakatnya. Modernisasi dengan penemuan baru dalam bidang teknologi [3] dan perubahan sosial akibat dari kebijakan politik pemerintah kolonial waktu itu [4] juga mengakibatkan perubahan bentuk dan gaya dalam bidang arsitektur. Perubahan gaya arsitektur pada jaman transisi atau peralihan (antara th. 1890 sampai 1915), dari gaya arsitektur “Indische Empire” (abad 18 dan 19) menuju arsitektur “Kolonial Modern” (setelah th. 1915) sering terlupakan. Mungkin karena waktunya relatif singkat (1890-1915), maka sering dilupakan orang. Hal yang sama terjadi pada arsitektur di Indonesia setelah kemerdekaan, antara th. 1950 an sampai th. 1960 an, timbul bentuk atau gaya yang disebut sebagai “arsitektur jengki [5]”, yang relatif kurang dikenal dalam perjalanan arsitektur Indonesia setelah kemerdekaan.
Gaya arsitektur pada jaman transisi (th.1890-1915), sangat sedikit sekali terdokumentasi. Buku
‘Kromoblanda” [6] merupakan salah satu buku yang paling banyak mendokumentasikan arsitektur dari jaman peralihan (abad 19 ke 20) tersebut. Sedangkan pembahasan secara sekilas terdapat pada disertasi Dr. Charles Thomas Nix (1949), yang berjudul ”Bijdragen Tot Vormleer Van De Stedebouw In Het Bijzonder Voor Indonesia” (Sumbangan Tentang Pengetahuan Bentuk Dalam Perancangan Kota Terutama di Indonesia). Nix (1949), bahkan menyebut gaya arsitektur transisi (1890-1915), itu sebagai jiplakan gaya arsitektur Romatiek di Eropa.
Tulisan ini mencoba untuk menggali kembali gaya arsitektur transisi (th. 1890-1915) tersebut, dengan memakai studi kasus bangunan perumahan perwira pada komplek militer di Jawa. Dipakainya bangunan dalam komplek militer di Jawa ini dengan alasan sbb:
SITUASI PERKEMBANGAN ARSITEKTUR PADA AKHIR ABAD KE 19 DI HINDIA BELANDA
Abad ke 18 dan 19, arsitektur di Hindia Belanda didominasi oleh gaya yang disebut sebagai “Indische Empire” (Nix:1949,Jessup: 1988, Akihary:1990). Sebelum munculnya gaya arsitektur yang sering disebut sebagai ‘kolonial modern’ [7] sesudah tahun 1915, terdapat apa yang disebut sebagai gaya arsitektur transisi. Gaya arsitektur transisi ini sering luput dari pengelihatan sejarawan arsitektur. Bahkan sering digolongkan sebagai arsitektur kolonial modern. Pada umumnya arsitektur transisi ini mempunyai bentuk denah yang hampir mirip dengan arsitektur “Indische Empire”. Ciri-ciri seperti adanya teras depan (voor galerij) dan teras belakang (achter
galerij) serta ruang utama (central room), masih mendominasi denah-denah arsitektur peralihan ini. Pada rumah-rumah yang berukuran besar, juga masih terdapat bangunan samping yang sering disebut sebagai ‘paviliun’. Semangat perubahan justru terletak pada tampak bangunannya. Pada arsitektur transisi ini sudah tidak tampak kolom-kolom atau pilar dengan gaya Yunani atau Romawi (doric, ionic, corinthian) pada ‘voor galerij’ atau ‘achter galerij’ yang menjadi ciri khas gaya ‘indische empire’.
Pada awal abad 20, sebenarnya sudah bertiup angin perubahan dalam dunia arsitektur di Hindia Belanda. Angin perubahan tersebut dibawa oleh akademisi dan arsitek lulusan T.U. Delft dari Belanda yang datang ke Hindia Belanda, akibat makin gencarnya pembangunan di Hindia Belanda waktu itu. Semangat perubahan juga di tiupkan oleh P.A.J. Moojen, yang mendarat di Hindia Belanda pada th. 1903. Moojen menulis bahwa keadaan arsitektur pada th. 1900 di Hindia Belanda sbb:
“In de woningbouw had mevrouw, de nonja, de leiding. Zij regelde en bedong de prijzen. Een chinees nam het werk in onderdeelen aan en hij en de koelies werkten onder haar oppertoezicht, volgens de aanwijzing van een opzichter waterstaat, die over voldoenden vrijen tijd de beschikking had om een ontwerpteekening, volgen model nummer zoveel te maken en gedurende den buw wat technisch toezicht te houden. Plaats voor een architect, die niet als aannemer optrad, die zich daarenboven wel met kunst bemoeide, bestond volgens de alalgemeene opinie in Indie niet en de beste raad, dien men kon geven: ‘pak de eerste de beste boot naar Holland” (P.A.J. Moojen, Ontwikkeling der bouwkunst in Nederlandsch Indie 1. Nederlansche Bouwkunst, Bouwen 1e halve jaargang (1924), p. 105.)
(Yang membangun rumah sebenarnya adalah nyonya muda. Ia yang mengatur dan menawar harganya. Seorang China menerima pemborongan pekerjaannya per bagian, sedangkan dia dan para kuli bekerja dibawah pimpinan Nyonya besar tersebut, menurut petunjuk dari pengawas yang bekerja di departemen waterstaat, yang mempunyai cukup waktu untuk membuat rencana gambar bangunan menurut model nomor sekian dan pengawas tersebut selama pembangunan kadang-kadang mengawasi pekerjaan teknis nya. Memang waktu itu tidak ada tempat bagi arsitek profesional yang bekerja tidak merangkap bekerja sebagai pemborong., atau arsitek yang benar-benar berprofesi sebagai perancang bangunan murni. Dan nasehat yang sering diberikan adalah: Bersiaplah beserta barang-barangmu dan sebaiknya kembalilah ke negeri Belanda”.)
Tulisan Moojen diatas menggambarkan keadaan dan situasi pembangunan di Hindia Belanda pada th. 1900 an. Pembaharuan dalam praktek dunia arsitektur di Hindia Belanda dimulai oleh Departemen BOW (Burgelijke Openbare Werken-sekarang departemen P.U.). Dalam departemen ini praktek-praktek pembangunan dengan menggunakan arsitek profesional mulai diperkenalkan di Hindia Belanda. Seperti yang kita lihat kemudian, praktek pembangunan pada bangunan swasta mengikuti cara-cara yang diberikan oleh BOW [8] tersebut. Tapi tenaga profesional dalam bidang asitektur di Hindia Belanda pada th. 1900an masih sangat terbatas sekali. Sehingga muncul hasil semangat perubahan pada th. 1890-1915 an yang disebut sebagai ‘gaya arsitektur transisi’ yang sebagian besar dirancang oleh para opziter (pengawas) yang bekerja rangkap pada dinas pembangunan di pemerintahan Hindia Belanda waktu itu.
Gambar 1. Tipologi denah bangunan gaya “indische empire”. Ciri khasnya adalah adanya teras depan dan belakang dengan barisan kolom gaya Yunani dan Romawi.
Gambar 2. Sketsa denah dan tampak bangunan arsitektur kolonial modern (1936), karya arsitek A.F. Aalbers di Bandung. Ciri-ciri bangunan ‘indische empire” seperti denah yang symetri, teras depan dan belakang serta barisan kolom Yunani dan Romawi sudah tidak tampak lagi.
Gambar 3. Denah rumah Induk untuk kolonel (arsitektur peralihan) Merupakan modifkasi dari denah rumah gaya “Indische Empire”, tapi tampaknya berbeda.
PERKEMBANGAN GAYA ARSITEKTUR DI HINDIA BELANDA DARI ABAD KE 18 SAMPAI AWAL ABAD KE 20
Perubahan Dalam Bidang Arsitektur Pada Komplek Militer di Jawa
Awal abad ke 20 merupakan puncak kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Untuk menjawab tantangan modernisasi yang terjadi disemua bidang, maka pemerintah kolonial juga merasa perlu untuk modernisasi sarana phisik angkatan bersenjatanya [9]. Salah satu sarana yang di modernisir tersebut adalah ‘komplek militer’ bagi para prajuridnya. Modernisasi tersebut terjadi pada komplek militer di Batavia serta kota-kota Garnizun yang besar seperti Bandung dan Tjimahi, Magelang, Malang dsb.nya. Pembangunan ‘komplek militer’ pada kota garnizun tersebut diharapkan menjadi prototype bagi pembangunan serupa pada kota garnizun dan komplek militer yang lebih kecil di seluruh Nusantara. Yang menarik bagi dunia arsitektur waktu itu adalah pembaharuan secara total model arsitektur yang sebelumnya mempunyai gaya “Indische Empire” [10], mengalami perubahan dengan gaya arsitektur kolonial modern yang disesuaikan dengan iklim setempat. Kaum militer Belanda sadar betul akan iklim setempat, sehingga mereka ini menamakan kompleknya dengan istilah “tropenkampementen’ (komplek militer daerah tropis). Di dalam organisasi militer Belanda masa lalu dikenal bagian yang dinamakan korp zeni bangunan. Bagian inilah dulu yang bertanggung jawab atas pembangunan
komplek militer pada jaman kolonial [11]. Di dalam tulisan ini akan dibahas bentuk arsitektur perumahan perwira serta fasilitas pendukung (kantin). Pembahasan yang lebih mendalam tentang ‘lay out’dan 'site plan komplek militer baik pada jaman kolonial maupun sekarang adalah tidak memungkinkan karena komplek militer merupakan komplek yang bersifat rahasia yang dilindungi oleh undang-undang. Jadi tulisan ini hanya ingin menunjukkan bahwa arsitektur dalam komplek militer yang jarang dibicarakan dalam perkembangan arsitektur modern di Indonesia, ternyata tidak lepas dari kemajuan arsitektur sipil pada waktu itu.
Bentuk Perumahan Perwira dan Fasilitas Militer Lainnya
Disiplin yang tinggi serta hirarki yang ketat merupakan salah satu ciri khas kehidupan dalam dunia kemiliteran. Hirarki yang ketat ini membedakan kelompok perwira dan kelompok prajurit dalam kehidupan kemiliteran se hari-hari nya. Perbedaan ini juga dilukiskan pada bentuk phisik perumahannya dalam sebuah komplek militer. Dalam Hirarki kepangkatan perwira (dibawah Jendral [12]), berturut-turut adalah Kolonel, Kapten dan Letnan. Jadi rumah dinas seorang Kolonel mempunyai luasan yang lebih besar serta tampak yang lebih megah dibanding rumah dinas seorang Kapten, demikian seterusnya.
(Sumber: Kromoblanda)
Gambar 6. Tampak depan prototype rumah dinas seorang Kolonel. Kesan simetri yang kuat seperti arsitektur renaissance masih mendominir tampak depannya. Meskipun ada perubahan dalam tampak, tapi denah dan perhatian terhadap iklim tropis lembab, masih mengacu pada bentuk arsitektur sebelumnya.
Rumah Dinas Kolonel
Pada Gambar 6 & Gambar 7, terlihat tampak dan denah prototype rumah dinas kolonel. Denahnya terbagi atas rumah induk dengan paviliun. Rumah Induk yang terdiri dari kamar-kamar mempunyai luasan 8.00 X 5.50 M. Adanya voorgalerij (teras depan) dan achtergalerij (teras belakang), serta ruang depan yang digunakan sebagai kamar kerja, masih mewarnai denahnya. Tampak depannya berbeda jika dibandingkan dengan tampak arsitektur gaya Indische Empire (yang didominasi dengan barisan kolomkolom depan yang bergaya doric, ionic atau corinthian). Tapi penataan ruang pada denah rumah utamanya tidak berbeda jauh dengan denah-denah bangunan pada abad ke 19. Ciri-ciri yang tidak ditinggalkan pada denahnya bisa ditengarai misalnya dengan kebiasaan membuat denah dengan bentuk simetri.
Gambar 7. Denah rumah dinas seorang Kolonel. Rumah utama dengan achter galerij (teras belakang) dan voor galerij (teras depan), mengingatkan kita pada denah rumah gaya ‘indische empire’. Demikian juga dengan bangunan paviliun dikiri dan kanan bangunan utama, yang sering dipakai untuk tamu menginap.
Perhatian terhadap iklim tropis lembab [13] seperti di Nusantara, tetap mendapat perhatian utama dalam desain-desain perumahan perwira. Hanya terdapat penyesuaian dengan kehidupan militer pada denahnya seperti banyaknya kamar-kamar di denah paviliunnya yang biasanya ditempati oleh prajurid pengawal, sesuai dengan standart pengamanan dalam dunia militer. Bentuk atap (lihat gb.no.6), menunjukkan ciri atap yang khas Eropa. Bentuk atap serta sistim pembukaan pada terasnya yang menggunakan pembukaan lengkung [14] (vault), merupakan salah satu ciri tampak dari rumah seorang kolonel. Tampak rumah yang berbeda dalam sebuah komplek perumahan militer perlu untuk memberikan ciri khas, mana rumah kolonel, mana rumah kapten dan sebagainya. Mengingat hirarki pada dunia militer adalah sangat ketat.
Rumah Dinas Kapten
Denah dan Tampak rumah tinggal Kapten dapat dilihat pada gb. no.8 dan 9. Luas denahnya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan rumah dinas seorang Kolonel. Demikian juga tampaknya jauh lebih sederhana. Hal ini sesuai dengan hirarki kepangkatan yang ada dalam dunia kemiliteran. Pada denah ruamah dinas Kapten tidak terdapat paviljiun. Denahnya hanya terdiri dari dua bagian yaitu rumah induk dan rumah belakang yang sebagian dipakai untuk keperluan service, seperti kamar mandi, dapur, kamar pembantu dsb.nya. Antara kedua massa bangunan ini dihubungan dengan galerij. Bentuk denah rumah tinggal pada abad ke 19 dan awal abad ke 20, kebanyakan memisahkan bagian service (kamar mandi, dapur, ruang jemuran, kamar pembantu dsb.nya) dengan bagian utama bangunan (kamar kerja, kamar tidur, ruang makan dsb.nya). Salah satu alasannya disebabkan karena daerah service (kamar mandi, dapur, cuci, dsb.nya) dianggap kotor ( lembab, kotor dan berbau). Itulah sebabnya perlu dijauhkan dengan aktifitas kehidupan santai sehari-hari seperti, ruang duduk, ruang makan dan ruang tidur. Pada rumah induknyapun tidak terlalu banyak teras. Meskipun masih ada teras depan (achter galerij) Teras atau galerij belakang, tapi teras belakang relatif sempit jika dibandingkan teras rumah seorang kolonel. Rumah tinggal seorang Kapten terdapat 4 buah kamar pembantu yang masingmasing berukuran 3.00x3.00 M. Sedangkan kamar keluarganya masing-masing berukuran 5.50x5.00 M.
Gambar 8. Denah rumah tinggal dinas seorang Kapten.Rumah induk utamanya ada di depan, sedangkan daerah servisnya diletakkan dibagian belakang. Rumah yang lebih kecil seperti ini tidak punya paviliun disamping rumah induknya.
Gambar 9. Tampak depan rumah dinas seorang Kapten. Overstek yang cukup lebar, pembukaan diatas jendela untuk cross ventilasi dan luifel untuk pembayangan serta menghindari tampiasnya air hujan, menunjukkan adanya perhatian akan iklim tropis lembab di Nusantara.
Rumah Dinas Letnan
Rumah dinas Letnan, yang merupakan hirarki terendah dalam jajaran perwira di ketentaraan, berupa rumah kopel [15] (lihat gb. denah no.10). Atapnya berbentuk atap pelana dari bahan genting. Meskipun tidak seluas rumah untuk seorang Kolonel maupun Kapten , tapi rumah dinas seorang Letnan ini cukup memadai. Bagian service yang ada di belakang dan halaman samping yang cukup luas. Kamar tidurnya ada 2 buah dan sebuah kamar kerja. Type denahnya memang tidak serupa dengan denah-denah arsitektur gaya indische empire, yang didominir dengan beranda depan dan beranda belakang yang nyaman. Disamping rumah induknya terdapat halaman yang tidak terlalu luas. Denahnya berbentuk symetri. Terdapat pagar keliling yang membatasi rumahnya dengan bagian lain di dalam komplek militer. Tampak depannya menonjolkan gevel dengan atap pelana. Denah dan tampak rumah dinas Letnan merupakan bentuk arsitektur yang sama sekali tidak mengacu pada arsitektur ‘Indische Empire”.
Gambar 10. Denah rumah tinggal seorang Letnan. Ukurannya lebih kecil dan merupakan rumah
kopel.
Gambar 11. Tampak Depan rumah tinggal seorang Letnan. Rumah dinas Letnan adalah rumah Kopel (dua rumah yang atapnya menjadi satu).
Perumahan (barak) Prajurid
Barak prajurid, condong untuk berbentuk fungsional. Fungsional dalam arti bisa menampung orang banyak (sesuai dengan kehidupan ketentaraan), dengan jajaran tempat tidur. Fasilitas seperti kamar mandi dan w.c. merupakan fasilitas bersama seperti halnya dengan fasilitas umum lainnya seperti ruang makan dan ruang istirahat atau ‘game room’. Atapnya berbentuk atap perisai. Biasanya terdiri dari dua buah unit massa yang sejajar, kemudian disambung dengan sebuah massa yang tegak lurus yang menyatukan antara kedua massa yang sejajar tersebut (lihat gb. no.11A).
Tidak ada suatu yang istimewa dalam bentuk arsitektur barak tentara ini karena semua perancangan bersifat fungsional sekali, sehingga efisiensi merupakan syarat utama dalam perancangannya.
Gambar 11A. Denah barak prajurid pada komplek militer Belanda, pada abad transisi dari abad 19 ke abad 20.
Kantin Perwira
Seperti yang telah dijelaskan di depan bahwa kehidupan dalam dunia kemiliteran penuh dengan kedisiplinan dan hirarki yang ketat. Sampai kantin dalam komplek kemiliteran pun dipisahkan antara kantin prajurid dan kantin perwira. Kantin merupakan massa yang penting dalam komplek militer. Karena di kantinlah para perwira secara tidak resmi berkumpul dan beristirahat. Tampak depan kantin perwira pada komplek militer yang ada di Bandung sudah meninggalkan ciri arsitektur ‘indische empire” sama sekali. Sebagai bagian dari ‘tropenkampementen’ (komplek militer daerah tropis), bangunan ini juga sangat menyesuaikan dengan iklim tropis. Adanya galerij (teras) keliling yang dilindungi dengan atap tambahan dengan pembukaan yang berbentuk vault, merupakan salah satu pemecahan terhadap masuknya sinar matahari langsung dan tampiasnya air hujan (lihat gb. no.12). Pemecahan seperti tersebut diatas banyak sekali digunakan pada bangunan kolonial pada masa itu. Salah satu ciri yang lain adalah digunakannya menara (tower) pada pintu masuk (lihat gb.no.12), yang sering digunakan pada bangunan fasilitas umum pada masa arsitektur peralihan (1890-1915). Pengunaan tower ini mengingatkan kita pada menara gereja calvinis di Belanda, yang memang
sering digunakan sebagai tanda pintu masuk utama pada bangunan fasilitas umum. Di Hindia Belanda waktu itu juga umum digunakan antara th. 1890-1915 [16].
Gambar 12. Tampak depan kantin perwira pada komplek militer di Bandung . Ciri khas pemecahan terhadap Iklim tropis lembab dengan membuat teras keliling pada denahnya masih tetap digunakan.
BENTUK ARSITEKTUR TRANSISI DARI AKHIR ABAD 19 DAN AWAL ABAD 20 DI HINDIA BELANDA DILUAR KOMPLEK MILITER
Sebenarnya diluar komplek militer, banyak bentuk arsitektur transisi dari abad 19 ke awal abad 20 ini. Bentuk arsitektur transisi tersebut dipelopori oleh Dinas Pekerjaan Umum pemerintah kolonial sendiri yang biasa disebut sebagai BOW (Burgelijke Openbare Werken). Perubahan dalam bentuk arsitekur pada Dinas Pekerjaan Umum yang menangani hampir semua bangunan pemerintah kolonial waktu itu dipelopori oleh arsitek-arstek muda lulusan TH Delft yang bekerja pada tahun peralihan tersebut. Mereka ini antara lain seperti Ir. J.van Hoytema dan Ir. S. Snuyf. Tapi perubahan dalam perancangan gedung pemerintahan tersebut pada perkembangannya terus menuju kearah gaya arsitektur modern, terutama setelah masuknya Ir. F.J.L. Ghijsels dan C.P.Wolf. Shoemaker ke dalam departemen tersebut. Karya yang bisa digolongkan sebagai arsitektur transisi sekarang kebanyakan sudah dibongkar. Tapi yang ada antara lain adalah:
Gambar 13. Ir. J. van Hoytema ( kiri) dan Ir. S. Snuyf (kanan), merupakan arsitek-arsitek utama bangunan pemerintahan yang dibangun oleh BOW, pada peralihan akhir abad 19 ke awal abad ke 20.
Gambar 14. Kantor PTT (Post, Telegraaf en Telefoon) di Jogjakarta yang dirancang oleh BOW pada Th. 1910 dan dibangun pada th. 1912. Bangunan tersebut merupakan salah satu contoh
arsitektur transisi, yang dirancang oleh BOW.
Gambar 15. Kantor Pos besar Medan dibangun pada th. 1909 dirancang oleh arsitek S. Snuyf dari BOW. Bangunan tersebut temasuk salah satu bentuk arsitektur transisi yang dirancang oleh BOW.
Gambar 16. Kantor Pusat “Nillmij”, Jl. Juanda Jakarta. Dirancang oleh arsitek: P.A.J.Moojen dan S. Snuyft pada th. 1909. Bentuk arsitektur ini tergolong sebagai arsitektur transisi. Salah satu cirinya adalah bentuk menara (tower) serta gevelgevel depan yang mengingatkan kita pada arsitektur rumah-rumah di Balanda yang menghadap ke sungai.
Gambar 17. Hotel Savoy Homann, jl. Asia Afrika, Bandung. Dirancang oleh arsitek A.F. Aalbers th. 1939. Bangunan ini tergolong dalam bentuk arsitektur kolonial modern.
KESIMPULAN
Gaya arsitektur transisi memang berlangsung sangat singkat (1890-1915), sehingga sering luput dari perhatian kita. Sebab-sebabnya, seperti yang telah dijelaskan di depan bahwa masa transisi dari abad 19 ke abad 20 di Hindia Belanda dipenuhi oleh banyak perubahan dalam masyarakatnya. Modernisasi dengan penemuan baru dalam bidang teknologi dan perubahan sosial akibat dari kebijakan pemerintah kolonial waktu itu mengakibatkan perubahan bentuk dan gaya dalam bidang arsitektur. Perubahan tersebut tidak segera terjadi, tapi melewati satu tahapan yang kemudian disebut sebagai masa arsitektur transisi. Perumahan perwira Militer yang dibangun pada awal abad ke 20 pun tidak lepas dari keadaan pada masa itu. Karena waktu yang cukup singkat tersebut (antara 20-30 th), maka perubahan ini tidak terdokumentasi dengan baik. Untunglah bahwa buku ‘Kromoblanda’ banyak mendokumentasi pembangunan pada waktu itu.
DAFTAR PUSTAKA
Footnote:
[1] Transisi dalam bentuk arsitektur ‘rumah ibadah’ di Jawa pernah terjadi pada peralihan akhir abad 15 ke 16, dari arsitektur Hindu-Jawa ke arsitektur Islam-Jawa. Contoh yang jelas adalah gaya arsitektur Mesjid Demak (1477), Mesjid Menara Kudus (1530) dan mesjid Mantingan (awal abad ke 16) di Jepara.
[2] Sejarah kolonisasi Belanda di Nusantara secara garis besar dapat dibagi menjadi 7 bagian yaitu:
a. datangnya Belanda (abad ke 17) - 1800 : Masa VOC.
b. 1800-1811: Masa kekacauan yang timbul akibat perang dengan Napoleon di Eropa
c. 1811-1816: Masa pemerintahan Inggris dibawah Sir Thomas Stamford Raffles
d. 1816-1830: Masa restorasi kekuasaan Belanda dan masa mencari keuntungan ekonomi
e. 1830-1870: Masa Cultuurstelsel, untuk menghasilkan komoditi eksport.
f. 1870-1900: Era liberalisme yang ditandai dengan tumbuh suburnya perdagangan swasta dalam skala besar. Era Transisi dari th. 1890-1915
g. 1900-1942: Masa politik Etis, yang diwarnai dengan effisiensi, kesejahteraan dan otonomi.
[3] Penemuan dalam bidang teknologi seperti: listrik, tilpon, telgram serta kendaraan bermotor, mulai dipakai di Hindia Belanda pada awal abad ke 20, terutama di kota-kota besar seperti: Batavia, Semarang, Surabaya, Bandung, dsb.nya.
[4] Kebijakan pemerintah Hindia Belanda seperti dihapuskannya ‘Cultuurstelsel’ (1830-1870) yang diganti dengan U.U. Gula serta U.U. Agaria (setelah th. 1870), diterapkannya ‘politik Etis’ (Th 1900), serta diberlakukannya U.U. Desentralisasi (th. 1905), secara tidak langsung juga mengakibatkan perubahan dalam kehidupan masyarakat Hindia Belanda waktu itu. Termasuk didalamnya adalah peningkatan dalam bidang keamanan dengan dibangunnya kompleks militer di berbagai daerah.
[5] Tentang arsitektur “jengki”, lihat : Tjahjono, Gunawan (ed.) (1988), Architecture: Indonesian Heritage, Editions Didier Miller, Singapore., hal. 129.
[6] “Kromoblanda”: Over’t vraagstuk van ‘het Wonen’ in kromo’s groote land, vol. I, 1915-1916; vol. II, 1916, vol. III, 1920-1921; vol. V,2, 1922; vol. VI, 1927 ‘s Gravenhage, etc: H. Uden Masihan, etc , penerbitannya diprakarsai oleh ahli farmasi Semarang, Dr. Hendrik Freerk Tillema dan gambar-gambarnya dibuat oleh H. Ph. Th. Witkamp. Yang banyak dikutib disini adalah buku: vol.V,2, 1922.
[7] Kata ‘modernus’ sendiri bisa diartikan sebagai : yang berbeda dari sebelumnya. Timbulnya gaya arsitektur kolonial modern tersebut disebabkan karena makin banyaknya arsitek Belanda tamatan TU Delft yang berpraktek di Hindia Belanda sebagai akibat makin berkembangnya pembangunan terutama di kota-kota besar di Jawa karena kemakmuran yang makin meningkat sesudah tahun 1915. Sebelum th. 1900, hampir tidak ada arsitek yang berpendidikan akademis di Hindia Belanda ( lihat daftar arsitek yang berpraktek di Hindia Belanda pada buku : Akihary, Huib (1990), Architectuur en Stedebouw in Indonesie 1870-1970, De Walburg Pers ,Zutphen, hal. 87-148).
[8] BOW, yang menyusun peraturan pelaksanaan pembangunan setelah arsitek atau biro arsitek menyiapkan gambar perancangan dan besteknya. Termasuk di dalamnya pemisahan wewenang dalam pekerjaan pembangunan antara arsitek, pengawas bangunan, pemborong, mandor, pekerja bangunan.Termasuk juga cara penyusunan ‘rencana anggaran biaya’ (RAB), sistim tender atau lelang pekerjaan pembangunan dsb.nya. Semua peraturan itu sampai sekarang sebagain besar masih dipakai dalam dunia pembangunan di Indonesia. Penjelasan lebih detail tentang BOW waktu itu, bisa dibaca pada buku: Kromoblanda (1922) Vijde deel, tweede stuk, hal. 838-862.
[9] Yang dibahas dalam tulisan ini adalah bangunan pada komplek angkatan darat tentara kolonial di Hindia Belanda.
[10] Arsitektur “Indische Empire” adalah gaya arsitektur yang berkembang pada abad ke 19 di Hindia Belanda. Gaya arsitektur tersebut dipopulerkan oleh Gubernur Jendral “H.W. Daendels (1808-1811). Ciri-ciri khas dari arsitektur tersebut bisa ditengarai sbb: Denahnya berbentuk simetri penuh. Ditengah terdapat apa yang disebut sebagai “Central Room” yang terdiri dari kamar tidur utama dan kamar tidur lainnya. “Central Room” tersebut berhubungan langsung dengan teras depan dan teras belakang (Voor Galerij dan Achter Galerij). Teras tersebut biasanya sangat luas dan diujungnya terdapat barisan kolom yang bergaya Yunani atau Romawi (Doric, Ionic ,Corinthian). Dapur, Kamar Mandi/WC, Gudang dan daerah Service lainnya merupakan bagian yang terpisah dari bangunan utama dan letaknya ada dibagian belakang. Kadang-kadang disamping bangunan utama terdapat paviliun yang digunakan sebagai kamar tidur tamu. Kalau rumah tersebut berskala besar biasanya terletak pada sebidang tanah yang luas dengan kebun didepan samping dan belakang. Gaya arsitektur “Indische Empire” ini mulai menghilang pada awal abad ke 20 di Hindia Belanda.
[11] Prof. Wolf Schoemaker (1882-1949), guru besar arsitektur pertama di Sekolah Tinggi Teknik Bandung, dulunya adalah seorang anggota korp zeni bangunan angkatan bersenjata Hindia Belanda. Dia menamatkan pendidikan pada Akademi Militer di Breda, Belanda jurusan zeni bangunan. Keluarga Schoemaer adalah keluarga militer. Wolf Schoemaker sendiri lahir di Banyubiru (dekat Ambarawa), yang terkenal sebagai sebuah kota kecil yang punya komplek tangsi militer yang cukup besar.
[12] Rumah tinggal seorang jendral tidak berada dalam komplek tangsi militer.
[13] Seperti ‘croos ventilation’ yang baik pada interiornya, perlindungan terhadap sinar matahari langsung setelah jam 9.00 pagi, mengatasi tampias air hujan yang masuk kedalam interior, dsb.nya.
[14] Pembukaan yang berbentuk lengkung (vault), ini banyak dijumpai pada sistim konstruksi dinding pemikul, untuk menghindari gaya tarik yang bekerja pada sususnan bata. Rumah dengan gaya ‘indische empire’ mempunyai sistim struktur kombinasi anatara sistim kolom dan balok (pada teras depannya) dan sistim dinding pemikul pada rumah induknya. Tapi pada rumah tinggal perwira hanya digunakan sistim dinding pemikul saja.
[15] Rumah Kopel adalah dua rumah yang saling berdekatan satu sama lain (dinding pemisah anatara satu rumah dan rumah lainnya menjadi satu (lihat gb denah no.10). Hal ini dimaksudkan untuk lebih menghemat biaya.
[16] Tentang penggunaan ‘tower’ sebagai tanda pada pintu masuk utama pada bangunan fasilitas umum antara th. 1890-1915 an lihat: Jessup, Helen (1988), Netherlands Architecture In Indonesia 1900-1942, Disertasi pada Courtlaud Institute of Art, London., hal. 90.
‘Arsitektur Transisi’ di Nusantara dari Akhir Abad 19 ke Awal Abad 20
Stokis HPAI Jogja, Thursday, May 29, 2008
Labels:
Architecture
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Comments :
Post a Comment